Artificial Intelligence dalam Public Relations, Tantangan atau Peluang?

Artificial Intelligence dalam Public Relations, Tantangan atau Peluang?

Artificial Intelligence dalam Public Relations, Tantangan atau Peluang?

Penulis: Yani Tri Wijayanti

Kehadiran Artificial Intelligence

Era digital mampu mendorong manusia untuk melakukan transformasi digital. Era digital selain mempengaruhi cara kita berkomunikasi tetapi juga berpengaruh pada aktivitas kerja sehari-hari. Era digital ini ditandai dengan revolusi industri 4.0, berkembangnya teknologi, adanya big data dan artificial intelligence.

Kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan, AI dan big data bekerja bersama menghasilkan teknologi baru yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dalam tulisan ini akan lebih membahas tentang tantangan dan peluang artificial intelligence dalam kajian public relations. Artificial Intelligence (AI) akhir-akhir ini menjadi pembicaraan yang hangat di semua kalangan, menjadi hal menarik ketika kita bicara mengenai perkembangan teknologi.

AI menjanjikan banyak kemudahan kepada manusia dalam berbagai bidang pekerjaan. AI menjanjikan banyak kelebihan di antaranya kemampuan analitik, mampu memberikan data dan analisis yang akurat dalam jumlah yang besar; efisiensi kerja yang tinggi, dengan memanfaatkan AI dapat mempercepat penyelesaian pekerjaan kita; dapat mempermudah dalam pengambilan keputusan karena data bersifat obyektif.

 

“Meski ada AI, praktisi PR masih mempunyai masa depan yang baik, era digital bukan menjadi kompetitor melainkan justru membuat praktisi PR menjadi lebih maju dan memudahkan dalam menjalankan fungsi dan pekerjaan PR.”

 

Preview artikel ini dapat dibaca di sini

Citation:

Wijayanti, Yani Tri. “Artificial Intelegence dalam Public Relations, Tantangan atau Peluang? dalam Kunandar, et. al. Digital Disturbia: Hiruk-Pikuk Digitalisasi Komunikasi. Yogyakarta: Galuh Patria. pp 103-116.

 

Tertarik untuk membeli? Buku ini bisa didapatkan melalui:

 

5 Tanda Novelmu Siap Diterbitkan

5 Tanda Novelmu Siap Diterbitkan

Pernah nggak sih kamu merasa ragu akan nasib tulisanmu? Pernah nggak mikir-mikir novel yang sudah ditulis itu memang udah siap untuk diterbitkan atau belum? Apakah naskah itu memang sudah layak diterbitkan dalam bentuk buku?

Sebenarnya ada beberapa petunjuk yang bisa membantumu mengidentifikasi siap tidaknya suatu naskah diterbitkan. Berikut lima petunjuk naskah novelmu siap diterbitkan menjadi buku perdana.

  1. Cerita Sudah Selesai Ditulis atau Sudah Tamat

Hal pertama yang bisa menjadi petunjuk bahwa novelmu sudah layak diterbitkan adalah adanya kata tamat di akhir novel tersebut. Cerita yang belum berakhir memang belum bisa dipublikasikan dalam bentuk buku ya gais. Jadi, pastikan kata tamat itu tidak sekadar ada, tapi juga cerita yang ditulis memang sudah berakhir.

  1. Mendapat Respon Positif dari Pembaca Pertama

Seorang penulis disarankan memiliki pembaca pertama. Pembaca pertama mendapat kesempatan membaca karyamu bahkan sebelum disentuh oleh pihak lain seperti editor. Pembaca pertama yang jujur akan memberimu komentar dan masukan yang membangun.

Jika pembaca pertamamu memberi respon positif, ini bisa jadi salah satu tanda bahwa naskahmu siap dikirim ke penerbit. Kalau masih kurang yakin dengan pendapatnya, kamu bisa minta tolong pembaca kedua yang memang bisa kamu percayai. Jika komentarnya juga positif, inilah saatnya kamu mencari penerbit yang tepat.

  1. Tanggapann Oke atas Spoiler Tulisan di Sosmed

Komentar positif dari pembaca pertama bisa saja tidak membuatmu serta merta yakin. Kamu bisa coba memberi bocoran tipis-tipis pada khalayak yang lebih luas. Gunakan sosial mediamu untuk spoiler bakal novelmu. Tentu saja kamu tidak perlu menulis keseluruhan atau membocorkan isi ceritamu. Tujuannya agar orang yang membaca jadi penasaran dan menunggu-nunggu terbitnya novel itu.

Bangun interaksi yang dengan friendlist atau followers-mu. Ini penting untuk penjualan bukumu kelak, baik dengan sistem penerbitan biasa maupun dengan menggunakan print on demand (PoD).

Penting juga untuk kamu ingat bahwa komentar negatif dari satu dua orang tidak berarti tulisanmu buruk. Berpikir bahwa sebuah tulisan itu gagal hanya karena komentar negatif akan mempengaruhi mood menulismu selanjutnya. Amati komentar itu, bisa jadi itu adalah temuan kesalahan yang ada dalam ceritamu. Gunakan hal itu sebagai masukan untuk memperbaiki bakal novelmu.

  1. Sudah Menemukan Penerbit yang Tepat

Kadangkala penerbit bergerak aktif mencari penulis, lho. Jika dirimu termasuk orang yang aktif memanfaatkan sosial media, bukan tidak mungkin penerbit melirikmu dan memberi tawaran penerbitan yang spesial.

Meski begitu, kamu bisa mencermati tawaran penerbitan dari berbagai penerbit. Kamu bisa membandingkan, melihat terbitan terdahulu, dan bertanya pada teman yang telah lebih dulu menulis dan menerbitkan buku.

Kalau sudah merasa menemukan penerbit yang tepat, kamu bisa mulai berdiskusi tentang penerbitan novel perdanamu. Pastikan kamu memahami hal-hal teknis dan menanyakan hal yang masih kurang jelas untuk meminimalkan salah paham.

Oh ya gais, Galuh Patria merupakan salah satu penerbit yang terbuka banget untuk menerbitkan naskah baik dengan sistem royalti maupun PoD. Kami juga menyediakan paket-paket penerbitan, layanan penerbitan yang dilakukan oleh tim profesional kami, dan telah berpengalaman menerbitkan buku-buku fiksi dan non fiksi. Kamu bisa kontak Kak GaPa di 0822-6555-0883 untuk informasi lebih lanjut.

  1. Selesai Diskusi Intens dengan Editor

Setelah menemukan penerbit yang tepat, kamu bisa mulai berdiskusi intens dengan editor. Perhatikan kritik dan saran dari editor. Kamu boleh menyanggah pendapat editor, meski tidak berarti kamu jadi keras kepala ya gais. Jika proses ini sudah selesai, maka calon novel perdanamu siap untuk tahap selanjutnya. Tak lama lagi kamu bisa mendekap ‘anak pertama’mu. Woaaah, selamaaattt.

Nah, gimana nih gais? Udah menemukan lima petunjuk itu belum di calon novelmu? Kalau sudah, tunggu apa lagi, kirim naskahmu ke penerbitgaluhpatria@gmail.com dan cermati kelengkapan syaratnya yaaa.[]

Penulis: Katarina Retno

Meraup Cuan Digital Melalui Microstock Foto

Meraup Cuan Digital Melalui Microstock Foto

Meraup Cuan Digital Melalui Microstock Foto

Penulis: Tariq Yazid

Komunikasi dan Pemasaran Visual
Ketergantungan masyarakat kepada media komunikasi saat ini sangat tinggi. Belum lagi komunikasi yang ada sekarang mulai berkembang sesuai dengan format teknologi yang diusung menyesuaikan kebutuhan audiens. Karena itu, teknologi komunikasi saat ini dianggap telah merubah sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Dalam perkembangannya, komunikasi visual juga mengalami kemajuan. Kita ketahui bahwa komunikasi visual merupakan sebuah rangkaian proses penyampaian kehendak atau maksud tertentu kepada pihak lain dengan penggunaan media penggambaran yang hanya terbaca oleh indera penglihatan.

Komunikasi visual mengkombinasikan seni, lambang, tipografi, gambar, desain grafis, ilustrasi dan warna dalam penyampaiannya. Komunikasi visual menggunakan bahasa visual sebagai komponen utama dalam penyampaian pesan sehingga dapat dimaknai segala sesuatu yang dapat dilihat dan dapat dipakai untuk menyampaikan arti, makna, dan pesan (Kertamukti, 2012).

 

“Cuan digital dengan microstock foto menjadi enomena yang semakin penting dalam pemasaran visual online. Dengan pemahaman yang mendalam, para pelaku bisnis dan pemasar dapat mengoptimalkan penggunaan microstock foto untuk mencapai kesuksesan dalam era digital ini.”

 

Preview artikel ini dapat dibaca di sini

Citation:

Yazid, Tariq. “Meraup Cuan Digital Melalui Microstock Foto dalam Kunandar, et. al. Digital Disturbia: Hiruk-Pikuk Digitalisasi Komunikasi. Yogyakarta: Galuh Patria. pp 171-186.

 

Tertarik untuk membeli? Buku ini bisa didapatkan melalui:

 

7 Alasan Orang Membeli Buku

7 Alasan Orang Membeli Buku

Di era gempuran ebook dan akses buku digital, ternyata masih banyak orang yang tertarik untuk membeli buku. Ada beragam alasan yang membuat seseorang memutuskan membeli buku. Berikut tujuh alasan tersebut.

  1. Nge-fans dengan Penulisnya

Seseorang penggemar cenderung ingin mengoleksi apapun terkait idolanya. Jika orang tersebut nge-fans dengan seorang penulis, maka ia akan memburu semua karya penulis tersebut. Kadang, mereka berusaha mengikuti bincang buku atau meet and greet dengan penulis idolanya. Nggak lupa mereka juga melengkapi buku tersebut dengan tanda tangan asli penulisnya.

Namun, ada alasan lain seseorang membeli buku meski penulisnya belum terkenal. Mungkin karya itu memenangkan suatu lomba yang cukup bergengsi hingga pembaca penasaran. Ada juga kemungkinan pembeli buku adalah teman baik. Bukankah membeli buku karya teman merupakan bentuk apresiasi dan dukungan nyata?

  1. Blurb-nya Menarik

Blurb adalah tulisan yang berada di kover belakang sebuah buku. Penulis memberikan gambaran isi bukunya. Tapiii … tetep dong nggak dibocorin semua. Penulis kadang malah mengajukan pertanyaan yang membuat calon pembaca jadi penasaran. Nah, kalau udah penasaran, mereka nggak akan ragu buat beli buku tersebut.

  1. Suka Genre dan temanya

Beberapa pembaca menyukai genre dan tema tertentu. Tak heran mereka akan berburu buku dengan genre dan tema yang sama. Misalnya, suka banget dengan cerita fantasi. So, koleksi buku mereka pun nggak akan jauh-jauh dari genre tersebut. Kalau kamu suka genre dan tema apa nih, Teman GaPa?

  1. Kovernya Menarik

Tertarik membeli buku karena kovernya tuh mirip sama jatuh cinta pada pandangan pertama. Kover yang bagus dan mewakili isi buku jelas akan menarik perhatian calon pembaca. Oleh sebab itu, kover didesain secara hati-hati. Penulis sangat boleh memberi saran atau menyampaikan keinginan terkait kover bukunya.

Galuh Patria menerima masukan dari penulis terkait kover calon bukunya lho. Kover buku-buku terbitan Galuh Patria dikerjakan oleh tim profesional. Setelah penulis menyetujui kover yang hasil diskusi, proses penerbitan buku baru dilanjutkan ke tahap berikutnya.

  1. Rekomendasi

Beberapa pembaca membeli buku karena membaca rekomendasi buku tersebut. Rekomendasi buku biasanya ditulis dalam bentuk resensi atau ulasan buku. Jika penulis rekomendasi buku itu adalah orang yang dipercaya, maka calon pembaca tidak segan untuk membeli buku yang diulas tersebut. Selain membaca resensi buku, seseorang bisa membeli buku karena rating buku dari komunitas membaca atau rekomendasi langsung dari orang yang sudah membaca buku tersebut.

  1. Nambah Koleksi Buku

Nah, kalau ini sih memang orang-orang yang suka aja beli buku fisik dan mengoleksinya. Mereka mungkin saja membeli buku secara acak. Di rak bukunya bisa saja ada banyak buku yang masih di sampul plastik. Hei, jangan-jangan itu kamu? Wkwkwk ….

  1. Diskon atau Bazaar Buku Murah

Diskon dan bazaar buku murah juga membuat seseorang tertarik membeli buku. Buku-buku yang ditawarkan dijual dengan harga sangat miring atau adanya bundling buku dengan harga menggiurkan. Maka, para pembeli buku pun memanfaatkan kesempatan ini. Yha, kapan lagi bisa dapat banyak buku dengan harga terjangkau, kan?

Nah, gimana nih gais, kamu beli buku karena alasan yang mana? Atau jangan-jangan kamu punya alasan lain? Share alasanmu di kolom komentar yaaa.[]

Penulis: Katarina Retno

Trending X dan Kampanye Politik Selundupan

Trending X dan Kampanye Politik Selundupan

Trending X dan Kampanye Politik Selundupan

Penulis: Siantari Rihartono

Trending Topic X Salah satu fitur dalam platform media sosial X (sebelumnya Twitter) adalah ‘Trend for You’ atau yang lebih dikenal dengan sebutan ‘Trending.’ X (Twitter) Trending adalah peringkat topik populer yang sedang dibahas oleh pengguna akun X (Twitter). Topik yang masuk pada X (Twitter) trending, mengacu pada algoritma berdasarkan siapa yang diikuti oleh pengguna dan dimana lokasi (negara) di mana ia berada.

Biasanya kata kunci yang ada di peringkat didahului dengan tanda (#) tapi bisa juga hanya berupa kata frasa. Secara umum, Trending mengacu pada dua kriteria, yakni lokasi (Global dan nasional, misalnya Indonesia), dan juga trending per topik (misalnya politik, hiburan, olahraga, dan sebagainya).

Pada tampilan awal ketika pengguna membuka akun X mereka, pengguna akan melihat postingan dari akun-akun yang diikuti oleh mereka dan juga jaringan yang terhubung di sekitarnya, atau bisa juga karena riwayat interaksi pengguna dengan salah satu akun ataupun sebuah topik yang kemudian ‘disarankan’ oleh X dengan cara dihadirkan di linimasa pengguna. Jika lingkaran pertemanan sedikit dan pengguna tidak terlalu aktif, apa yang ditampilkan pada linimasa juga menjadi terbatas.

Oleh karena itu, kemudian disediakan fitur Trending tadi, agar pengguna bisa mengetahui apa yang sedang ramai diperbincangkan di dalam platform X yang mungkin tidak banyak dibahas oleh orang-orang dalam lingkaran pertemanan tadi.

 

“Bahaya paling nyata dari ‘kampanye selundupan’ dengan mendompleng trending topic seperti ini adalah maraknya hoax (misinformasi dan disinformasi) yang menyerang calon lawan.”

 

Preview artikel ini dapat dibaca di sini

Citation:

Rihartono, Siantari. “Trending X dan Kampanye Politik Selundupan dalam Kunandar, et. al. Digital Disturbia: Hiruk-Pikuk Digitalisasi Komunikasi. Yogyakarta: Galuh Patria. pp 155-170.

 

Tertarik untuk membeli? Buku ini bisa didapatkan melalui:

 

Buku Pertama dan ‘Buruknya’ Itu

Buku Pertama dan ‘Buruknya’ Itu

Saya mulai belajar mempublikasikan tulisan saat kelas 4 SD. Itu pertama kalinya saya ikut lomba menulis esai. Tingkat kecamatan kalau tidak salah. Saya ingat betul, saat itu target tulisannya adalah dua lembar folio bergaris. Dua lembar lho ya, bukan dua halaman.

Waktu itu, saya sudah tahu apa saja yang harus saya tulis. Almarhum bapak saya mengajari membuat kerangka tulisan. Saya pun membuat poin-poin yang akan saya jabarkan. Masalahnya, di tengah-tengah saya ‘tersesat’. Rasanya tidak tahu apa lagi yang perlu saya tulis sementara panjang tulisan saya masih jauh dari target.

Akhirnya, saya menulis apa saja yang terlintas dalam pikiran. Hasilnya tentu saja tidak nyambung. Sudah pasti saya kalah di lomba itu. Wkwkwk ….

Meski demikian, saya mengalami fase ketika saya merasa yakin tulisan saya bagus. Mungkin aslinya terlena dengan pujian orang-orang dekat saya yang bermaksud menyemangati. Itu sebabnya saya berani menerbitkan buku. Sebenarnya buku pertama saya memang digunakan untuk mendukung tesis saya waktu itu. Namun, kumcer saya yang pertama, itu benar-benar keberanian yang kini saya kagumi.

Beberapa waktu kemudian, saya merasa ada yang aneh dari tulisan-tulisan saya. Saya menyadari tidak punya referensi yang cukup untuk tulisan saya. Saya pun mulai mendisiplinkan diri membaca dan meng-ghibah secara postif. Saya juga ikut kelas-kelas menulis yang terjangkau. Saya makin rajin ikut lomba dan mengirim tulisan ke media untuk mengalami pedihnya jutaan ditolak dan kalah lomba. Saya ikut beberapa komunitas menulis, dan mencermati diskusi di WAG penulis beberapa media.

Interaksi dan belajar itu membuat saya kemudian menemukan banyak kesalahan di buku pertama saya. Kini, terasa mudah buat saya menemukan kesalahan ejaan yang mengganggu atau kesalahan logika cerita di buku fiksi saya yang pertama itu.

Namun, saya tidak merasa malu saat menemukan kesalahan itu. Mungkin itu disebabkan karena buku-buku pertama saya diterbitkan dengan sistem PoD (Print on Demand). Artinya, buku-buku itu terdistribusi secara terbatas, pada orang-orang yang saya harap bisa memaklumi kesalahan itu.

Beberapa penulis pemula yang saya kenal menyatakan mengalami rasa tak percaya diri. Mula-mula mereka tidak pede menulis. Lalu tidak pede mempublikasikannya, baik ke media, mengikutsertakannya ke lomba, atau menerbitkannya menjadi buku. Betapa menyedihkannya menjadi manusia yang serba tidak pede.

Padahal, saya salah satu manusia itu. Saya juga dirundung rasa tidak pede yang sama. Saat memulai menulis fiksi, saya takut dianggap begini dan begitu. Saya juga tidak pede membuat pernyataan yang mungkin sedikit berlawanan. Saat ditawari menerbitkan buku pun saya tidak pede menerimanya.

Ketika kemudian saya menulis novel, memenangkan kompetisi menulis dan diterbitkan, saya mulai lebih percaya diri. Novel-novel itu telah mengalami proses seleksi dan pembacaan yang ketat. Ada diskusi intens dengan editor yang handal. Andai masih ada kesalahan di sana, ya, itu memang manusiawi. Kita pun kadang bisa menemukan beberapa kesalahan, seperti sekadar typo yang tidak terlalu menganggu, pada buku-buku karya penulis besar, bukan?

Bedanya, saya dan banyak penulis yang lain bukannya memilih cuek. Kami merayakan pencapaian kami: hasil menulis kami dengan mempublikasikannya. Kami menggunakan perspektif lain dalam melihat proses menulis itu.

Pengalaman lomba menulis pertama saya membuat saya tahu bahwa saya butuh kerangka saat harus menulis dengan ‘napas panjang’. Misalnya, saat menulis novel/ novella, saya butuh membuat poin-poin penting sebab proses menulisnya lebih lama dari menulis esai atau cerpen.

Pengalaman menerbitkan kumcer yang pertama membuat saya tahu bahwa ada kesalahan ejaan yang perlu dicermati lagi. Saya jadi lebih selektif mencari editor dan memandang masukan dari editor dalam beragam perspektif. Saya tidak menerima mentah-mentah masukan editor, tapi juga tidak keras kepala.

Lebih dari itu saya belajar punya waktu mengendapkan tulisan. Bagaimana pun tulisan yang buru-buru dipublikasikan biasanya masih memiliki hal-hal yang menganggu dan perlu diperbaiki.

Saya juga belajar memilah komentar. Tidak semua kata-kata manis dan penuh kekaguman perlu diambil hati. Sama seperti hujatan dan olok-olok yang sampai di telinga kita.

Pada akhirnya, seburuk apapun hasil menulis yang pertama atau buku pertama, kita adalah penulis yang berkembang. Perjumpaan dengan beragam karakter di komunitas menulis, diskusi dengan rekan-rekan penulis dan editor, pengetahuan dan motivasi dari para mentor benar-benar membantu kita untuk bertumbuh.

Tak peduli seburuk apapun buku pertama, saya bisa menerima dengan gembira. Sama gembiranya ketika mendapat pengumuman tulisan saya masuk ke media atau dinyatakan sebagai pemenang dalam sebuah lomba.

Dan saya tahu, rekan-rekan penulis pemula sebetulnya tengah bertumbuh menjadi lebih baik. Jadi, hasil menulis pertama kita itu, sesungguhnya tak seburuk itu.[]

Penulis: Katarina Retno Triwidayati

New Public Sphere dalam Kampanye Lingkungan Melalui Media Sosial

New Public Sphere dalam Kampanye Lingkungan Melalui Media Sosial

New Public Sphere dalam Kampanye Lingkungan Melalui Media Sosial

Penulis: Prima Yustitia Nurul Islami & Nada Arina Romli

Teknologi dan New Public Sphere
Teknologi mengalami perkembangan yang pesat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, dan internet menjadi teknologi yang mendorong transformasi pola komunikasi dalam masyarakat saat ini (Sari et al., 2018). Salah satu media dalam komunikasi dengan bantuan teknologi dan internet adalah media sosial. Media sosial merupakan platform media yang berfokus pada keberadan pengguna dan proses memfasilitasi berbagai kegiatan manusia berupa komunikasi sederhana hingga proses membangun opini masyarakat (publik) (A. C. Sari et al., 2018).

Media sosial di Indonesia digunakan oleh semua lapisan masyarakat sebagai salah satu alat komunikasi hingga saat ini (Mansyur, 2018). Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada periode 2022-2023 mencapai 215,63 juta orang dengan rata rata penggunaan internet selama 7 jam 42 menit dalam sehari. Data tersebut juga menunjukkan bahwa teknologi telepon genggam (ponsel) merupakan mayoritas teknologi yang digunakan untuk mengakses internet.

 

“Adanya new public shpere menjadi titik awal isu isu penting dapat memiliki ruang untuk diperjuangkan, diperhatikan dan diharapkan dapat mendorong terbentuknya kebijakan melalui ruang ruang digital tersebut.”

 

Preview artikel ini dapat dibaca di sini

Citation:

Islami, Prima Yustitia Nurul dan Nada Arina Romli. “New Public Sphere dalam Kampanye Lingkungan Melalui Media Sosial dalam Kunandar, et. al. Digital Disturbia: Hiruk-Pikuk Digitalisasi Komunikasi. Yogyakarta: Galuh Patria. pp 139-154.

 

Tertarik untuk membeli? Buku ini bisa didapatkan melalui:

 

5 Keraguan Menerbitkan Buku Pertama dengan Sistem PoD

5 Keraguan Menerbitkan Buku Pertama dengan Sistem PoD

Salah satu sistem penerbitan buku yang bisa digunakan oleh para penulis pemula adalah PoD (Print on Demand). Namun, beberapa penulis kerap ragu saat ingin menerbitkan buku pertama, terutama dengan menggunakan sistem PoD ini. Berikut lima keraguan menerbitkan buku pertama dengan sistem PoD.

  1. Adanya Anggapan Tulisan Pertama Tidak Sempurna

Pada dasarnya memang tidak ada hal yang sempurna. Kita bisa saja menemukan celah kesalahan atau keburukan. Demikian halnya dengan tulisan.

Hasil menulis, terutama bakal buku pertama, kerap dianggap hasil yang tidak sempurna. Tulisan di buku pertama biasanya berupa tulisan idealis dan mungkin saja masih memiliki banyak kesalahan, baik secara isi maupun secara kebahasaan.

Selain menyadari adanya ketidaksempurnaan, kita bisa memilih penerbit yang menyediakan editor yang handal. Diskusi dengan editor akan membantu kita menemukan kesalahan yang mungkin masih luput. Editor bisa menjadi pembaca pertama yang memberi masukan dan kesan yang komprehensif terhadap bakal buku pertama tersebut.

  1. Nama yang Tidak ‘Menjual’

Beberapa rekan penulis pemula merasa bahwa namanya tidak ‘menjual’. Ia merasa tidak banyak dikenal. Dengan demikian, mereka ragu menerbitkan buku pertama.

Memang harus diakui, nama penulis memberi dampak pada penjualan buku. Namun, penulis besar pun dimulai sebagai penulis pemula.

Oleh sebab itu, kita tidak mungkin menjadi penulis besar jika tidak memulai memperkenalkan tulisan kita. Sosial media bisa menjadi sarana pertama yang kita gunakan untuk mempublikasikan hasil menulis kita. Apabila tulisan kita sering dimuat di media, rajin-rajinlah membagikannya di sosial media. Jangan lupa untuk di-setting publik agar jangkauannya lebih luas.

  1. Genre Tulisan dan Tema ‘yang Biasa’

Ada pula penulis pemula yang merasa bahwa genre tulisan dan tema yang diangkatnya begitu biasa atau umum. Tulisan sejenis rasanya ada begitu banyak. Lalu, apakah tulisan itu jika diterbitkan akan tetap laku?

Sebenarnya, tema adalah salah satu unsur pembangun cerita. Kita bisa mengelola unsur lain sebagai pembeda tulisan kita dengan tulisan dari penulis lain.

Bereksperimen menjadi salah satu kunci. Meski demikian ada penulis yang merasa nyaman mengikuti pakem yang ada atau tidak berani bereksperimen. Dan mereka juga bisa sukses kok.

Jadi, tak ada pilihan lain, selain berani mencoba melemparkan tulisan kita pada publik, bukan? Bukankah kritik dan saran sama berharganya dengan pujian yang kita terima?

  1. Adanya Kepercayaan Orang Membeli Buku karena Ingin Belajar dari Penulis Bagus

Orang membeli buku bisa disebabkan banyak hal. Salah satunya adalah buku itu ditulis oleh penulis yang bagus.

Orang yang membeli dengan alasan tersebut bisa dipastikan ingin mendapatkan kualitas. Selain itu, dia mungkin saja ingin mempelajari sesuatu dari buku tersebut. Lalu bagaimana dengan penulis yang belum bagus atau penulis pemula?

Tidak bisa dimungkiri, lingkar pertemanan dan cara berinteraksi menjadi salah satu kunci keberhasilan penerbitan buku dengan sistem PoD. Sebab, teman-teman kita ikut membeli buku bukan karena nama kita tertera sebagai penulis. Namun, karena kita adalah temannya. Dan membeli buku karya teman merupakan bentuk apresiasi dan dukungan dari sahabat.

  1. Takut Tidak Laku

Duh, nerbitin buku bakal laku nggak ya? Bagaimana jika biaya produksi lebih tinggi? Rugi dong?

Pertanyaan-pertanyaan itu pasti mengganggu pikiran para penulis pemula. Nasib buku yang terjual memang tergantung seberapa banyak orang yang ikut pre order buku kita. Pada PoD, buku dicetak sesuai dengan jumlah pesanan yang dibuat. Oleh sebab itu, carilah penerbit yang menawarkan paket-paket penerbitan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhanmu.

Jangan ragu mempromosikan calon bukumu. Ada penerbit yang memberi tawaran PoD hingga berupa promosi buku. Bekerja sama dengan penerbit, kita juga bisa membuat kegiatan bersama seperti bedah buku atau bincang buku.

Dengan jalur pertemanan juga, kita bisa minta tolong orang yang memiliki followers banyak untuk meng-endorse buku kita. Bisa juga beri tawaran spesial, misalnya buku lengkap dengan hadiah kecil dan tanda tangan penulisnya.

Nah, gimana Teman GaPa? Siap untuk mendobrak rasa ragumu untuk menerbitkan buku pertama? Galuh Patria siap menjadi tempatmu menerbitkan buku pertama lho. Ada paket penerbitan dan promosi yang menyertainya. Kontak Kak GaPa untuk informasi lebih lanjut ya. Ganbatte![]

Penulis: Katarina Retno Triwidayati

Terjebak dalam Derasnya Arus Teknologi Informasi dan Kecerdasan Buatan

Terjebak dalam Derasnya Arus Teknologi Informasi dan Kecerdasan Buatan

Terjebak dalam Derasnya Arus Teknologi Informasi dan Kecerdasan Buatan: Analisis Pendekatan Literasi Informasi di Era Digitalisasi

Penulis: Etik Anjar Fitriarti

Ketergantungan pada Teknologi
Teknologi informasi yang semakin berkembang pesat hingga saat ini menimbulkan berbagai macam dilema dan problematika bagi masyarakat, khususnya di dunia pendidikan. Anak-anak usia sekolah maupun mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat informasi yang saat ini semestinya dilindungi dan diharapkan telah memiliki kemampuan literasi yang mumpuni untuk menghadapi segala tantangan dan dampak buruk dari hadirnya era yang serba digital ini.

Anak-anak usia sekolah dan mahasiswa dapat dikatakan sebagai generasi digital sebab mereka memiliki kemampuan yang cepat dalam beradaptasi dan menggunakan teknologi digital. Dalam Pratiwi (2021) disebutkan ada beberapa contoh karakteristik dari generasi digital saat ini yaitu aktif dalam mengungkapkan identitas diri, memiliki wawasan yang luas, menyukai kebebasan, ingin memiliki kontrol, bergantung terhadap teknologi, menikmati lingkungan online, memiliki kemampuan adaptasi teknologi yang baru dan memiliki kemampuan multitasking. Generasi digital saat ini dapat disebut sebagai digital native yaitu orang yang memiliki kemampuan yang cepat dalam beradaptasi terhadap teknologi digital.

 

“Perlunya menumbuhkan kesadaran literasi informasi untuk mengetahui kebutuhan serta menyesuaikan informasi yang dicari dalam permainan interaktif agar tidak mengarah pada hal-hal yang merugikan diri sendiri ataupun orang lain.”

 

Preview artikel ini dapat dibaca di sini

Citation:

Fitriarti, Etik Anjar. “Terjebak dalam Derasnya Arus Teknologi Informasi dan Kecerdasan Buatan: Analisis Pendekatan Literasi Informasi di Era Digitalisasi dalam Kunandar, et. al. Digital Disturbia: Hiruk-Pikuk Digitalisasi Komunikasi. Yogyakarta: Galuh Patria. pp 103-116.

 

Tertarik untuk membeli? Buku ini bisa didapatkan melalui:

 

5 Alasan Tidak Pede Menulis

5 Alasan Tidak Pede Menulis

Beberapa orang sering merasa tidak percaya diri untuk menulis sesuatu. Padahal orang itu mungkin harus menulis sesuatu, misalnya karena tuntutan pekerjaan atau memang kebutuhan untuk aktualisasi diri.

Nah, Teman GaPa, ternyata ada beberapa alasan yang membuat seseorang tidak percaya diri/ pede untuk menulis. Berikut lima alasan yang sering dikemukakan para penulis pemula.

  1. Merasa apa yang ditulisnya itu biasa

Seseorang mungkin berpikir bahwa hal yang akan ditulisnya itu merupakan hal yang sangat biasa. Di kelas menulis divisi Pelatihan Galuh Patria, mentor kami menemukan alasan ini menjadi alasan yang paling sering diajukan peserta. Memang sih, ada anggapan bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu yang benar-benar baru. Tapi bukan berarti semua hal yang akan kita tulis itu adalah hal yang benar-benar biasa.

Nah, supaya tulisan yang kita hasilkan itu nggak terjebak pada tulisan biasa, Teman GaPa bisa mencoba menambah referensi dan memperkuat pengamatan. Bisa juga melakukan brainstorming dengan teman dekat. Tujuannya tentu untuk memperkaya perspektif kita. Hasilnya, tulisan kita pasti akan berbeda.

  1. Hasil menulis/ tulisannya tidak ada gunanya atau takut salah

Alasan kedua yang juga umum diajukan adalah adanya perasaan atau dugaan bahwa tulisan yang akan dihasilkan itu tidak ada gunanya. Ada juga yang sebelum menulis sudah punya perasaan atau ketakutan bahwa tulisan yang dihasilkan nantinya memiliki kesalahan.

Gimana tuh caranya menghindarinya? Teman GaPa perlu melakukan riset. Riset di sini sih nggak harus riset yang ribet ya. Mencari tulisan dengan tema sejenis akan membuat Teman GaPa tahu bahwa tulisan itu benar atau salah. Di sisi lain, tulisan yang berdasarkan fakta/ kejadian faktual dan didasarkan teori yang mendukung juga akan terhindar dari kesalahan tersebut.

Seandainya tetap terjadi kesalahan atau perbedaan perspektif, Teman GaPa memang mesti siap untuk menerima kritik dan saran. Sebab, dunia ini ‘kan dinamis, Teman GaPa. Apa yang menjadi kebenaran di saat ini, belum tentu menjadi kebenaran di waktu yang lain. Yha, kaan?!

Oh ya, dengan banyak membaca tulisan bertopik sejenis, Teman GaPa akan tahu bahwa ide tulisan itu memang diperlukan atau tidak. Mikirnya gini deh, kalau sesuatu itu tidak penting, pastinya tidak akan dibicarakan terus menerus, ‘kan? Yuk, semangat mencermati tulisan lain dengan tema/ topik sejenis yang akan Teman GaPa tulis.

  1. Tidak fokus

Menulis memang sering membutuhkan waktu khusus. Teman GaPa perlu meluangkan waktu dan mempersiapkan diri dengan baik. Sebab, saat tertentu, Teman GaPa bisa saja jadi tidak fokus saat menulis. Misalnya, saat riset tulisan terdahulu, eh malah jadinya scroll sosmed deh. Akhirnya, waktu terbuang karena tidak fokus.

Trus gimana caranya supaya Teman GaPa bisa lebih fokus saat menulis? Teman GaPa bisa membuat kebiasaan kerja yang positif. Misalnya, dalam waktu sekian jam, Teman GaPa hanya fokus menulis dan menjauhkan ponsel. Cara lain tinggal disesuaikan dengan kebiasaan Teman GaPa ya, misalnya mendengarkan musik sambil menulis.

  1. Kebiasaan menunda-nunda

Hmmm, ini mah memang kebiasaan yang buruk ya, Teman GaPa. Kadang kita dengan sengaja atau tidak sengaja menunda menyelesaikan sesuatu. Eh, tahu-tahu kerjaan menumpuk dan kita jadi stress sendiri deh.

Kebiasaan menunda-nunda juga nggak bagus untuk menulis lho, Teman GaPa. Kita bisa aja jadi lupa apa saja yang mau dijabarkan dalam tulisan. Akhirnya kita mengalami masa ketika kita bingung menghubungkan tulisan yang belum jadi dengan apa yang harus dituliskan.

Nah, Teman GaPa bisa mengantisipasi kebiasaan ini dengan belajar mendisiplinkan diri ya. Buat daftar kerjaan dan tenggat waktunya. Jangan lupa tulis kerangka tulisan jika Teman GaPa untuk mengantisipasi saat menulis harus terjeda. Tujuannya agar Teman GaPa lebih mudah mengingat kembali hal yang akan dijabarkan dalam tulisan.

  1. Merasa tidak bisa

Beberapa orang merasa tidak bisa menulis. Padahal rasanya seperti punya banyak ide, merasa mau untuk menulis, tapi … ternyata tidak bisa. Waduuuh.

Hmmm, memang tidak bisa dimungkiri bahwa menulis itu tentang keterampilan. Artinya, Teman GaPa memang harus berlatih terus menerus agar bisa terampil menulis.

Luangkan waktu untuk membaca untuk memperkaya referensi Teman GaPa. Jangan lupa luangkan waktu khusus juga untuk menulis. Kadang, kita memang tidak bisa langsung menyelesaikan sebuah tulisan kan? Tapi, setidaknya, dengan rutin menulis, Teman GaPa akan semakin terlatih.

Nah, gimana Teman GaPa? Siap untuk mendobrak rasa tidak pede-mu dalam menulis?

Galuh Patria telah menerbitkan banyak buku fiksi dan non fiksi lho. Teman GaPa bisa memanfaatkannya untuk memperkaya pengetahuan Teman GaPa. Jangan lupa setelah itu luangkan waktu untuk menulis yaaa. Kalau tulisannya sudah jadi dan ingin diterbitkan jadi buku, Teman GaPa bisa kontak Kak GaPa untuk proses penerbitan di Galuh Patria. Ciayooo![]

Penulis: Katarina Retno Triwidayati